MAKALAH
SEWA-MENYEWA DAN GADAI
DosenPengampu :
Dr. Dra Rahmani Timorita Yulianti,
M. Ag
Disusun
oleh :
MUHAMMAD SANUSI (13423119)
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
FAKULTAS
ILMU AGAMA ISLAM
PRODI EKONOMI ISLAM
PRODI EKONOMI ISLAM
PENDAHULUAN
Manusia adalah mahluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri tanpa berinteraksi dengan dengan orang
lain. Dalam istilah di atur segala tingkah laku manusia yang
mengharuskan adanya interksi dengan sesama yakni dalam kajian fiqh muamalah,
yang mana didalamnya juga membahas aturan sewa-menyewa dan gadai.
Dalam masalah sewa-menyewa dan gadai ini,
adanya suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi antara kedua belah pihak yang
mengadakan suatu interaksi tersebut baik itu sewa-menyewa dan gadai. Adapun
syarat secara umum bagi pihak yang melakukan sewa-menyewa dan gadaiitu harus
mesti orang yang sudah memiliki kecakapan betindak sempurna, sehingga perbuatan
yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Para ulama
berpendapat tentang kecakapan bertidak didalam lapangan muamalahini ditentukan
oleh hal-hal yang bersifat pisik dan kejiwaan sehingga segala tindakanyang
dilakukanny dapat dipandang sebagai sutu perbuatan yang sah sesuai dengan
syariat islam.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang
pengertian sewa-menyewa dan gadai, hukum sewa-menyewa dan gadai, syarat dan
rukun sewa-menyewa dan gadai, serta jenis-jenis sewa-menyewa dan gadai.
sekaligus sebagai tugas dari dosen mata kuliyah fiqih muamalah abad klasik dan
menengah. Semoga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membaca makalah
ini.
Tujuan Pembuatan makalah
initidak hanya sebagai tugas pada mata kuliyah fiqh muamalah abad klasik dan
menengah, serta untuk memperluas pengetahuan tentang bagaimana mengetahui serta
memahami pegertian sewa-menyewa dan gadai, Mengetahui dasar hukum sewa-menyewa
dan gadai, Mengetahui macam-macam dan jenis-jenis sewa-menyewa dan gadai.
PEMBAHASAN
SEWA-MENYEWA
DAN GADAI
1.1 Pengertian Sewa-menyewa (Ijarah)
Secara etimologis, kata ijarah berasal dari
kata ajru yang berarti ‘iwadhu pengganti. Oleh karena itu, tsawah ‘pahala’
disebut juga dengan ajru ‘upah’. Pihak pemilik yang menyewakan manfaat sesuatu
disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang
menyawakan disebut musta’jir. Dan,
sasuatu yang diamil manfaatnya disebut ma’jur.
Sedangkan jasa yang diberikan sebbagai imbalan atas mannfaat tersebut disebut ajrah atau ujrah upah
Menurut
istilah para ulama mendefinisikan sewa (ijarah) sebagai berikut:
Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah
akad untuk memolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu
zat yang disewa dengan imbalan.
Menurut malikiayah ijarah adalah suatu
akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah uantuk masa
tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
Menurut syfi’iyah ijarah adalah suatu
akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu
yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
Menurut hanabilah ijarah adalah suatu
akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Menurut
Sayyid Sabiq bahwa ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat
dengan jalan penggantian.
Menurut sulaiman rasjid, mempersewakan
adalah akad atas manfaat (jasa) dengan
maksudyang diketahui, dengan tukaran yang diktahui menurut syarat-syarat yang
akan dijelakan kemudian
Dari definisi-definisi tersebut diatas
dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip di
antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa-menyewa. Dari definisi
tersebut dapat diambil intisari bahwa
ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan
demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).
Seseorang yang menyewa sebuah rumah untuk dijadikan tempat tinggal selama satu
tahun dengan imbalan Rp. 3.000.000,00, ia berhak menempati rumah itu untuk
waktu satu tahun, tetapi ia tidak memiliki rumah tersebut. Dari segi
imbalannya, ijarah ini mirip dengan jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena
dalam jual beli obyeknya benda, sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat
dari benda. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil
buahnya karena buah itu benda, buakan manfaat. Demikian pula tidak
diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah susunya karena susu bukan manfaat,
melainkan benda.
Suatu manfaat, terkadang berbentuk manfaat
atas barang, seperti rumah untuk ditempati,mobil untuk di kendarai. Kadang kala dalam bentuk karya seperti karya seorang
arsitek, tukang tenun, tukang pewarna, penjahitdan tukang binatu. Bisa pula itu
berbentuk kerja kasar pribadi seperti pelayan.
1.2 Dasar Hukum Syariat tentang
Sewa-menyewa
Para
fuqaha’ sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh syara’,
kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Bin Aliyah, Hasan
Al-Basri, Al-qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak membolehkan
ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat
dilakukannya akad, tidak isa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah
manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikti. Sedangkan sesuatu yang tidak
ada pada waktu akad tidak boleh
diperjuabelikan. Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd,
bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia
(manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan
syara’.
Alasan jumhur ualama memperbolehkan
Ijarah (sewa) adalah
Dalil Al-Qur’an
1. “
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dinia, dan kami telah meninggikan
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan yang lain. Dan
rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Asy-Suuara 43:32)
2. “
Dan jika ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu
apaila kamu memberikan pelayanan menurut yang patut. Bertakwalah kamukepada
Alloh maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (al-baqarah 2:233)
3. “
Salah seorang dari wanita itu berkata, ‘Wahai bapakku, ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya.’ Berkata dia (syu’aib),’ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari putriku ini, atas dasar kamu kamu bekerja denganku delapan
tahun, dan jika kamu cukupkan sepuluh ahun, maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu, maka aku tidak ingin memberkatimu. Dan kamu insya Alloh akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.’ ”(al-Qashash 28 : 26 dan27)
Dalil
sunnah,
1.
Dari Riwayat Bukhari
bahwa Nabi saw. Pernah menyewa Seseorang dari Bani ad-Diil bernama Abdullah Bin
Uraiqith sebagai penunjuk jalan.
2.
Ahmad, Abu
Dawud, danan-Nasa’i meriwayatkandari Said din Abi Waqqas r.a. yang berkata,
“Dahulu kami menyewakan tanah dengan bayaran tanaman yang tumbuh. Lalu
Rasulullah melarang peraktik tersebut dan memerintahkan kami agar membayarnya
dengan uang enas atau perak.”
3.
Riwayat ibnu
majah, Rasulullah bersabda, “ Berikan upah buruh(barang sawaan) sebelum
keringatnya kering.”
Disamping Al-quran dan sunnah, dasar
hukum ijarah ijma’. Sejak zaman sahabat sampai sekarang ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum
islam, kecuali beberapa ulama yang telah disebutkan diatas. Hal tersebut
dikarenakan masyarakat sangat memutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehidupan
sehari-hari, ada orang kaya yang memiliki beberapa rumah yang tidak ditempati.
Disisi lain ada orang yang tidak memiliki tenpat tinggal. Dengan diboehkannya
ijarah maka oarang yang tidak memiliki tempat tinggal bisa menempati rumah orang
lain yang tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan
imbalan berupa uang sewa yang disepakati bersama, tanpa harus membeli rumahnya.
1.3 Syarat
dan Rukun Akad Sewa
Adapun ijarah atau sewa menyewa
terdiri dari empat jenis persyaratan, yaitu
a. Syarat
terjadinya akad (syarat in’iqad)
Syarat
terjadinya akad berkaitan dengan ‘aqid, akad, dan objek akad. Syarat yang
berkaitan dengan aqid adalah berakal. Dan mumayyiz menurut Hanafiah, dan balig
menurut Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, akad ijarah tidak sah
apabila pelakunya gila atau masih dibawah umur.
b. Syarat
kelangsunga akad (nafadz)
Untuk
kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah
(kekuasaan). Apabila si pelaku tidak mempunyai hakkepemilikan atau kekuasaan
(wilayah),
seperti akad yang dilakukan oleh fadhuli, maka akadnya tidak bisa dilangsungkan
c. Syarat
sahnya ijarah
1. Persetujuan
kedua belah pihak
2. Objek
akad yaitu manfaat harus jelas, sehingga tidak menimbulkan perselisihan.
3. Objek
akad ijarah harus dapat dipenhi, baik menurut hakiki mapn syr’i
4. Manfaat
yang menjadi objek akad harus manfaat yang dibolehkan oleh syara’.
5. Pekerjaan
yang dilakukan itu bukan fardu dan bukan kewajiban orang yang disewa (ajir) sebelum dilakukan
ijarah.
6. Orang
yang disewa tidak boleh mengambil manfaaat dari pekerjaannya untuk dirinya
sendiri.
7. Manfaat
m’aqud ‘alaih harus sesuai dengan tujuan dilakukannya akad ijarah, yang biasa
berlaku umum.
d. Syarat
mengikatnya akad ijarah (syarat luzum)
Agar
akad ijarah itu mengikat, diperlukan dua syarat
1. Benda
yang disewakan harus terhindar dari cacat (aib) yang menyebabkan terhalangnya
pemanfataan atas benda yang disewaan itu. Apabila terdapau suatu cacat (‘aib)
yang demikian sifatnya, maka orang yang menyewa bole mamilih antara meneruskan
ijarah dengan pengurangan uang sewa dan membatalkannya.
2. Tidak
terdapat udzur (alasan) yang dapat membatalkan akad ijarah. Misalnya udzur pada
salah seorang yang melakukan akad, atau pada sesuatu yang disewakan. Apabila
terdapat adzur, baik pada pelaku maupun pada ma’qud alaih, maka pelaku berhak
membatalkan akad.
1.4 Macam-macam atau Jenis-jenis Sewa Menyewa
a. ijarah ‘alal
manfaat (sewa)
yaitu akad ijarah yang obyeknya berupa manfaat suatu
brarang, maksudnya akad ijarah ini adalah untuk mendapatkan manfaat suatu
barang. Contohnya Andi menyewa sebuah mobil miliknya si Wawan yang akan
digunakan untuk pergi kerumah orang tuanya, dari itulah kita bisa tau bahwa
Andi telah mendapatkan manfaat suatu barang yang telah disewanya dari mobil
miliknya si Wawan.
b. ijarah ‘alal ‘amal (upah)
yaitu akad ijarah yang objeknya berupa manfaat tenaga
kerja/jasa. Mauksudnya akad ijarah jenis ini diterapkan untuk mendapatkan
manfaat tenaga kerja/jasa. Contohnya Pak Tohir menyewa seorang tukang merbaiki
rumah untuk memperbaiki rumahnya yang rusak terkena badai, dengan ini kita bisa
tau bahwa Pak Tohir menyewa tenaga tukang rumah itu untuk memperbaiki rumahnya
dan apabila tukang rumah telah selesai memperbaiki rumah, maka Pak Tohir akan
membayar tukang itu yang disebut dengan upah.
2.1 Pengertian Gadai (Rahn)
Menurut bahasa, rahn artinya adalah tetap dan
berkesinmbungan. Disebut juga dengan al-habsu
yang artinya menahan. Contoh penggunaannya dalam kalimat, “ Ni’matun Rahinah” yang bermakna karunia yang tetap dan
berkesinambungan. Penggunaan rahn unuk makna al-habsu ‘menahan’, dimuat dalam
Al-Qur’an,
‘tiap-tiap
peribadi terikat (tertahan) dengan atas
apa yang telah diperbuatnya.” (al-muddatsir
[74]:38)
Menurut istilah syara’, gadai atau
rahn didefinisikan oleh Sayyid Sabiq yang mengutip pendapat Hanafiyah sebagai
berikut, sesungguhnya rahn (gadai) adalah menjadikan benda yang memiliki nialai
harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan untuk utang, dengan ketentuan
dimungkinkan untuk mengambil semua utang, atau mengambil sebagiannya dari benda
(jaminan) tersebut.
Syafi’iyah, sebagaimana dikutip oleh
Wahbah Zuhaili, memberikan definisi gadai (rahn) sebagai berikut, Gadai adalah
menjadikan suatu benda sebagai jaminan untutk hutang, dimana utang tersebut
bisa dilunasi (dibayar) dari benda (jaminan) tersebut ketika pelunasannya
mengalami kesulitan.
Hanabilah memberikan definisi rahn sebagai
berikut, Gadai adalah harta yang dijadikan sebagai jaminan untuk utang yang
bisa dilunasi dari harganya, apabilaterjadi kesulitan dalam pengambilannya dari
orang yang berutang.
Malikiyah membrikan definisi gadai
(rahn) sebagai berikut, Rahn adalah sesuatu yang bernilai harta yang diambil dari pemiliknya sebagai
jaminanuntuk utang yang tetap (mengikat)atau menjadi tetap.
Dari definisi-definisi yang
dikemukakan oleh ulama mazhabtersebut dapat dikemukakan bahwa dikalangan ulama
tidak terdapat perbedaan yang mendasar dalam mendafinisikan gadai (rahn). Dari
definisi yang dikemukakan tersebut dapat diambil intisari bahwa gadai (rahn)
adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan
bahwa apabila terjai kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa
dibayar dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.
2.2 Dasar Hukum Gadai (Rahn)
Gadai (rahn)
hukumnya dibolehkan berdasarkan Al-quran, sunnah, dan ijma’. Adpun dasar dari
Al-quran tercantum dalam suah Al-Baqarah (2) ayat 283:
“Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermuamalat tidak secara tunai) sedangkan kamu tidak
mempeeroleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebgian yang
lain, maka hendalah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada alloh tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan alloh maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.
Hadis Anas:
“dari
Anas ia berkata : Rasulullah SAW menggadaikan baju perang kepada seorang yahudi
di Madinah, dan dari orang yahudi itu beliau mengambil sya’ir (jagung) untuk
keluarganya”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Nasa’i, dan
Ibnu Majah)
Hadis Aisyah:
“Dari
Aisyah bahwa Nabi SAW mmbeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran
tempo, dan beliau menggadaikan kepada Yahudi itu satu baju perang yang terbuat
daru besi. Dan dalam redaksi yang lain: Nabi wafat, sedangkan baju perangnya di
gadaikan kepadaseorang Yahudi dengan tiga puluh liter (sha’) syair (jagung)”.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari ayat dan hadis-hadis terebut
jelaslah bhwa gadai (rahn) hukumnya diolehkan, baik bagi orang yang sedang
dalam perjalanan maupun orang yang tinggal dirumah. Memang dalam surah
Al-Baqarah (2) ayat 283, gadai dikaitkan dengan safar (perjalanan). Akan
tetapi, dalam hadis-hadis tersebut Nabi SAW melaksanakan gadai (rahn) ketika
sedang di Madinah. Ini menunjukkan bahwa gadai tidak terbatas hanya dalam
perjalanan saja, tetapi juga bagi orang yang tinggal dirumah. Pendapat ini
dikemukakan oleh jumhur ulama. Sedangkan menurut imam Mujahid, Dhahhak, dan
Zhahiriyah, gadai (rahn) hanya dibolehkan bagi orang yang sedang dalam perjalanan,
sesuai denganayat 283 Surah Al-Baqarah (2) tersebut ditas.
2.3 Rukun dan Syarat
Gadai
1.
Rukun
gadai
Gadai
memiliki empat unsur, yaitu rahin, murtahin, marhun, dan marhunbih. Rahin
adalah orang yang memberikan gadai, murtahin adalah orang yang menerimaa gadai,
marhun atau rahn adalah harta yang digadaikan untuk menjamin utang, dan marhun
bih adalah utang. Hanafiyah tidak
melihat kepada keempat unsur tersebut, melainkan melihat kepada pertanyaan yang
dikeluarkan oleh para pelaku gadai, yaitu rahin dan murtahin. Oleh karna itu,
hanafiyah menyatakan bahwa rukun gadai adalah ijab dan qabul yang dinyatakan
oleh rahin dan murtahin.
Menurut
jumhur ulama rukun gadai ada empat, yaitu
a.
Aqid
b.
Shigat
c.
Marhun (benda
yang digadaikan), dan
d.
Marhunbih
(uatng)
2.
Syarat-syarat
Gadai
a.
Syarat Aqid
Syarat
yang harus dipenuhi oleh aqid dlam gadai yaitu rahin dan murthin, adalah
ahliyah (kecakapan). Ahliyah (kecakapan) menurut Hanafiyah adalah kecakapan
untuk melakukan jual beli. Artinya, setiap orang yang sah melakukan jul beli,
sah pula orang yang melakukan gadai. Hal ini dikarenakan rahn atau gadai adalah
suatu tasaruf yang bekaitan dengan harta, seperti halnya jual beli. Dengan
demikian, untuk sahnya akad gadai, pelaku disyaratkan erakal dan mumayyiz. Maka
tidak sah gadai yang diakukan oleh orang gila atau anak yang belum memasuki
masa tamyiz.
Menurut
jumhur ulama selain hanafiyah, kecakapan dalam gadai sama dengan kecakapan
untuk mlakukan jual beli dan akad tabarru’. Hal ini dikarenakan akad gadai
adalah akad tabarru’, oleh krena itu tidak sah akad gadai yang dilkukan oleh
oang yang dipaksa, anak yang dibawah umur, gila, boros dan pailit.
b.
Syarat Shighat
Menurut
Hanafiyah, shighat gadai (rahn) tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan
tidak disandarkan kepada masa yang kan datang. Hal ini dikarenakan akad gadai
menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad
gadai digantungkan kepada syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang,
maka akad menjadi fasid seperti halnya jual beli.
c.
Syarat Marhun
Para
ulama sepakat bahwa syarat-syarat marhun (barang yang digadaikan) sama dengan
syarat jual beli. Artinya, semua barang yang sah di perjualbelikan sah pula
digadaikan. Secara rinci Hanafiah mengemukakan bahwa syarat-syarat marhun
adalah sebagai berikut.
1.
Barang yang
digadaikan bisa dijual, yakni barang tersebut harus ada pada waktu akad dan
mungkin untuk diserahkan.
2.
Barang yang
digadaikan harus berupa mal (harta)
3.
Barang yang
digadaikan harus mal mutaqawwim.
4.
Barang yang
digadai harus jelas
5.
Barang tersebut
dimiliki oleh rahin
d.
Syarat Marhun
bih
Marhun
bih adalah suatu hak yang karenanya barng gadaian diberikan sebagai jaminan
kepada rahin. Menurut Hanafiah, marhun bih harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut
1.
Mahun bih harus
berupa hak yang wajib diserahkan kepada pemiliknya, yaitu rhin karna tidak
perlu memberikan jaminan tanpa ada barang yang dijaminnya.
2.
Pelunasan utang
memungkinkan untuk diambil dari marhun bih.
3.
Hak marhun bih
harus jelas, tidk boleh majhul.
Syafiiyah dan Hanabilah mengemukakan
tiga syrat untuk marhun bih
1.
Marhun bih harus
berupa utang yang tetap dan wajib, misalnya qardh, atau manfaat, seperti
pekerjaan dalam ijarah
2.
Utang harus
mengikat baik pada masa sekarang (waktu akad) maupun mendatang, misalnya
ditengah masa khiyar.
3.
Utang harus
jelas atau ditentukan kadarnya dan sifatnya bagi para pihak yang melakukan
akad.
e.
Syarat
Kesempurnaan Rahn: penerimaan marhun
1.
Status
penerimaan (qabdh)
·
Secara umum para
fuqaha sepakat bahwa penerimaan (qabdh) atas barang yang digadaikan merupakan
syarat yang berlaku untuk akad gadai (rahn).
·
Menurut jumhur
ulama qabdh (penerimaan), bukan syarat sah melainkan syarat luzum (mengikatnya)
gadai (rahn).
·
Menurut
Malikiyah, qabdh (penerimaan) buakan merupakan syarat sah atau syarat lazim,
melainkan hanya merupakan syarat kesempurnaan saja.
2.
Cara penerimaan
·
Para fuqaha
sepakat bahwa cara penerimaan (qabdh) untuk benda tetap (‘aqar) adalah dengan
penyerahan secara langsung ata dengan pengosongan.
·
Syafiyah dan
Hanabilah sama pndapatnya dengn Abu Yusuf, yaitu bahwa qabdh daam gadai adalah
sama dengan qabdh dalam jual beli. Apabila bendanya benda tetap maka cukup
dengan takhliyah, yaitu melepaskan hal-hal yang menghalangi antara rahin dan
murtahin.
3.
Syarat-syarat
penerimaan
·
Harus ada izin
rahin
·
Rahin maupun
murtahin harus memiliki ahliyatul ada’ (kecakapan) melakukan akad
·
Murtahin harus
tetap memegang (menguasai) barang gadaian
4.
Orang yang
berkuasa atas borg (rahn)
Orang
yang bekuasa untuk menerima org atau barang gadaian adalah murtahin atau
wakilnya. Orang yang mewakili murtahi harus orang selain rahin. Apabila yang
mewakili itu rahin maka hukumnya tidak sah, karena tujuan penerimaan adalah
untuk menimbulkan rasa aman bagi murtahin atas utang yang ada pada rahin.
2.4
Macam-macam
atau Jenis-jenis Gadai
1. Rahn
iqar/resmi (rahn takmini/rahn tasjily)
Merupakan
bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan henya dipindahkan kepemilikannya,
namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipgunakan oleh pemberi gadai,
contohnya A memiliki utang kepada B sebesar Rp. 10 juta sebagai jaminan atas
pelunasan utang tersebut. A menyerahkan BPKB mobilnya kepada B secara rahn iqar.
Walaupun surat-surat kepemilikan atas mobil diserahkan pada B namun mobil
tersebut tetap berada ditangan A dan dipergunakan untuk keperluannya
sehari-hari, jadi yang bepindah hanyalah bukti-bukti kepemiikan atas mobil
tersebut.
2. Rahn
Hiyazi
Bentuk
rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam hukum adat
maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan rahn iqar yang hanya menyerhkan
hak kepemilikan atas barang, maka pada rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun
dikuasai oleh kreditur.
PENUTUP
Kesimpulan
Ijarah atau
sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, objek
sewa menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang). Dari segi imbalannya, ijarah ini mirip dengan
jual beli, tetapi kedunya berbeda, karena dalam jual beli obyeknya benda,
sedangkan dalam ijarah, obyeknya adalah manfaat dari benda. Oleh karena itu,
tidak diperbolehkan menyewa pohon untuk diambil buahnya karena buah itu benda,
buakan manfaat. Demikian pula tidak diperbolehkan menyewa sapi untuk diperah
susunya karena susu bukan manfaat, melainkan benda.
Gadai (rahn) adalah
menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas utang, dengan ketentuan bahwa
apabila terjai kesulitan dalam pembayarannya maka utang tersebut bisa dibayar
dari hasil penjualan barang yang dijadikan jaminan itu.
Daftar
Pustaka
1. Drs.
H. Ahmad Wardi Muslich, Fiih Muamalat, Jakarta 2010
2. Al-Quran
dan Terjemahan terbitan UII Press
3. Said
Sabiq, Fiqih Sunnah.
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun profit,bergabung sekarang juga dengan kami
BalasHapustrading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009